“Sekali lagi makasih ya salepnya, sebenernya gak apa-apa sih gak pake itu juga.” ujarnya sambil menunjukkan deretan gigi bersihnya.
“Siang mbak, tumben banget keliatan, sibuk banget pasti!”
Pak satpam dengan tulisan Hermawan terbordir di salah satu saku kemeja kerjanya menyapaku siang itu. orangnya ramah, dan akan selalu seperti itu. Lihat saja, sapaan hangatnya ngalahin terik matahari yang lagi ganas-ganasnya. Sapaan itu aku timpali singkat saja, “iya nih pak!”. Lantas disepersekian detik berikutnya aku masuk ke ruang resepsionis semacam tempat untuk registrasi. Aku membuka pintu yang bertuliskan OPEN. Suasana dingin dari pendingin ruangan mampu mengusir gerah karena udara hangat di luar tadi. Menyadari ada yang membuka pintu, seorang perempuan muda yang tak terlalu tinggi dengan batik biru tua bermotif mega mendung berdiri dari balik meja counter. Wajahnya sumringah, seakan lupa kalau di luar sana sebagian orang sedang berusaha menyelamatkan kulitnya dari jilatan matahari yang menggila. “Wah, mbak udah lama banget gak maen kesini.” Ujarnya sembari menyodorkan buku pengunjung. “iya nih, kuliahnya dari pagi ampe sore mulu, baru bisa kesini sekarang deh!” kelakarku sambil menuliskan nama dan membubuhi tanda tangan. Seolah tahu apa yang ada di kepalaku, perempuan muda tadi mengeluarkan cok roll yang memang biasa kupesan. “Pasti mau maen di luar, nih!”. “Mbak tau aja, makasih ya!” ujarku dan bergegas untuk meninggalkan meja counter itu. sebelum benar-benar pergi perempuan muda itu kembali berujar, “Mbak, sekarang ada yang sering duduk di kursi favoritnya mbak lho!”. “Oh ya! Moga aja orangnya gak rese!” timpalku sebelum akhirnya menutup pintu ruangan yang tak terlalu luas itu.
Pak satpam dengan tulisan Hermawan terbordir di salah satu saku kemeja kerjanya menyapaku siang itu. orangnya ramah, dan akan selalu seperti itu. Lihat saja, sapaan hangatnya ngalahin terik matahari yang lagi ganas-ganasnya. Sapaan itu aku timpali singkat saja, “iya nih pak!”. Lantas disepersekian detik berikutnya aku masuk ke ruang resepsionis semacam tempat untuk registrasi. Aku membuka pintu yang bertuliskan OPEN. Suasana dingin dari pendingin ruangan mampu mengusir gerah karena udara hangat di luar tadi. Menyadari ada yang membuka pintu, seorang perempuan muda yang tak terlalu tinggi dengan batik biru tua bermotif mega mendung berdiri dari balik meja counter. Wajahnya sumringah, seakan lupa kalau di luar sana sebagian orang sedang berusaha menyelamatkan kulitnya dari jilatan matahari yang menggila. “Wah, mbak udah lama banget gak maen kesini.” Ujarnya sembari menyodorkan buku pengunjung. “iya nih, kuliahnya dari pagi ampe sore mulu, baru bisa kesini sekarang deh!” kelakarku sambil menuliskan nama dan membubuhi tanda tangan. Seolah tahu apa yang ada di kepalaku, perempuan muda tadi mengeluarkan cok roll yang memang biasa kupesan. “Pasti mau maen di luar, nih!”. “Mbak tau aja, makasih ya!” ujarku dan bergegas untuk meninggalkan meja counter itu. sebelum benar-benar pergi perempuan muda itu kembali berujar, “Mbak, sekarang ada yang sering duduk di kursi favoritnya mbak lho!”. “Oh ya! Moga aja orangnya gak rese!” timpalku sebelum akhirnya menutup pintu ruangan yang tak terlalu luas itu.
Tempat tongkrongaku ini adalah kantor arsip daerah, yang jelas aku cuma tahu kalau tempat ini free wifi. Lokasinya tidak terlalu luas, dengan bangunan kantor yang mirip seperti bangunan rumah dan halaman samping yang dipenuhi dengan meja dan kursi-kursi yang terbuat dari kayu. Peneduh yang mirip payung raksasa, mengembang tegak di atas meja. Tempat ini memang tidak terlalu ramai kalau siang begini. Tapi kalau ada acara, semacam acara rapat organisasi baru deh meja-mejanya pada penuh bahkan pernah juga aku terpaksa pulang karena tak kebagian tempat. Padahal aku lagi ngebet mau download anime lho itu. Suck, men!
Di pojok kiri halaman ini ada kantin kecil. Sayangnya aku gak begitu akrab sama penjaga kantinya, orangnya cuek gitu mukanya, bawaan dari orok kali ya.. Nah, baru deh tempat duduk favoritku yang dimaksud mbak-mbak cantik penjaga counter tadi berada tepat menghadap kantin. Satu-satunya meja yang deket dengan colokan listrik. Makanya jadi favorit banget!
Di pojok kiri halaman ini ada kantin kecil. Sayangnya aku gak begitu akrab sama penjaga kantinya, orangnya cuek gitu mukanya, bawaan dari orok kali ya.. Nah, baru deh tempat duduk favoritku yang dimaksud mbak-mbak cantik penjaga counter tadi berada tepat menghadap kantin. Satu-satunya meja yang deket dengan colokan listrik. Makanya jadi favorit banget!
Dan sekarang dengan perasaan gamang aku berjalan menyusuri jalan setapak paving block menuju tempat favoritku. Siapa ya yang dimaksud mbak itu? Siapa ya? Siapa? Si-a-pa? batinku. And you know what… benar, seseorang dengan punggung lebar berbalut kaos kerah warna abu-abu tengah nyantai, terliihat dari headphone yang membando di kepalanya. Ah, lelaki!
Dengan perasaan ragu, aku mendekat dan meminta duduk di kursi yang menghadapnya. “Mm… sorry boleh duduk di sini gak?” tanyaku harap-harap cemas. Responnya cukup kurang ajar, hanya menaikkan alis dan mengedikkan bahu yang berarti ‘terserah, apa peduliku!’. Oh, tidak sopan! Setidaknya, sebagai orang Indonesia -yang memegang teguh budaya ketimuran- mempersilakan dengan halus. “o.. ya mbak, silakan!” seenggaknya gitu kek! Tapi sayang, tidak untuk lelaki yang satu ini. Sikap cueknya justeru berbanding terbalik dengan wajahnya yang teduh dan manik hitam kelamnya itu. sayang sekali!
Aku menatapnya jengah. Setelah memastikan colokan cok roll terpasang, aku mengeluarkan laptop yang lebih tepatnya komputer karena gak akan bisa nyala tanpa di cas. Indicator charging dan tombol power menyala. Beberapa kejap kemudian aku sudah berselancar di dunia maya. Membuka salah satu situs download anime subtitle Indonesia. Sembari menunggu downloadan aku membuka artikel di salah satu situs berita online. Banyak kasus kriminal yang menghiasi lini masanya. Mulai dari pembunuhan karena selingkuh, karena hutang, karena dendam, hingga hal sepele yakni pembacokan karena terus ditagih uang kontrakan. Yap, kasus kriminal seperti ini udah kayak ibu-ibu lahiran. tiap hari ada aja… makanya ini sering dijadikan komoditi dalam pemberitaan. Tak jarang juga dijadikan pengalihan perhatian publik terhadap kasus yang lebih bedebah dari pada itu. Korupsi, misalnya! Tapi, disuguhi berita kayak begitu aku jadi berpikiran kalau orang-orang Indonesia pada labil. Terlalu cepat tersulut emosi. (Yang) katanya Indonesia itu orangnya ramah-ramah dan saling menghargai. Tapi, ya kenyataannya justru membuat geleng-geleng kepala.
Bosan dengan berita online, aku beralih pada tas ransel yang kutaruh di sisi bawah meja. Kuaduk sebentar mencoba mencari sebuah buku yang baru beberapa halaman kubaca. KELUARGA TAK KASAT MATA, judul buku berwarna putih dengan cover yang begitu menegaskan kalau buku ini bergenre horror. Sekilas dari ujung ekor mata, aku melihat lelaki (norak) yang duduk di hadapanku melirik buku dalam genggamanku. Dengan menyandarkan punggung pada kursi dan mencoba menikmati bacaanku sembari menunggu dwnloadan. Tak lama, lelaki dan seorang perempuan berkerudung yang duduk di seberang berdiri menghampiri mejaku. “Ki, aku duluan ya! Gak apa-apa kan kamu sen..di..ri..” tukas lelaki yang tiba-tiba melirikku. What? Sendiri? Jadi aku yang segede kuda nil ini gak keliatan dari tadi? mustahil! Kalimatnya menurun dan pelan diakhir, ya mungkin saja dia baru sadar kalau ada perempuan berkerudung (manis) sedang duduk kalem di sini, so itu artinya di sini tidak ada yang sedang sendirian! “Hmmm…” jawab lelaki menyebalkan itu. Gila.. dia begitu dinginnya, bedebah!
Suasana menjadi sepi setelah kepergian dua orang (yang mungkin pasangan) tadi. hanya terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan sana. ‘Tap…’ aku menutup buku dan beralih pada layar laptopku. Beberapa anime berhasil aku donlot, yess! Dan ketika mendongak, aku tak melihat si dingin itu lagi, ah maksudku lelaki rese’ itu. Apa dia sudah pulang? Tapi laptopnya masih nangkring di depan. Apa peduliku?! Tak lama, suara derap langkah mendekat dari belakang. Dan yang terjadi,
“Owh… Syiddhh!!” (umpatan yang sengaja kutulis bukan tulisan aslinya).
Bukan aku, tapi dari mulut lelaki rese’ itu. Ternyata tersandung, mampus! Batinku. Tapi tunggu, dia tersandung…
Tas ranselku!!
Iya, dia tersanung tas ranselku dan ini akan menjadi sesuatu yang buruk. Oh god, help! Dua tangannya penuh dengan mangkuk mie kuah yang asapnya masih mengepul dan segelas penuh es jeruk. Karena tersandung, entah bagaimana (bodohnya dia) kuah panas mie tadi rupanya tumpah dan mengenai kulit tangannya serta meninggalkan sebagian kecil noda di bajunya. Kurasa itu menyakitkan sekali. Aku segera mengambil tisu, dan menyodorkannya. “Nih pake ini.” Tanpa babibu ia menerima dan mengelap tangan kirinya yang terkena kuah mie. Area lukanya memerah dan cukup luas. Fix, aku merasa bersalah. Kemudian aku menawarkannya salep Hidrokortison, entah ampuh atau tidak karena ini sebenarnya salep untuk kulit yang terbakar matahari. Dengan dahi berkerut ragu, dia menatapku seolah bertanya ‘apa kau yakin?’ . Aku mengangguk mantap “Iya, pake aja. Biar gak merah.” Setelahnya dia sibuk mengoles salep.
Aku memerhatikannya. Sambil ragu-ragu hendak meminta maaf karena dia tersandung tas ranselku dan jadilah luka di tangannya itu. “M..m.. maaf ya, tas.. mm.. tas.. mm.. kamu kesandung jadinya!” ujarku belepotan. Responnya kembali dingin dengan hanya mengedikkan bahu dan kembali mengoles salep. Apa dia bisu? Sampai komunikasi saja hanya menggunakan isyarat begitu. Tapi tadi, bibirnya malah ringan banget mengumpat. Dingin, dan menyebalkan!
Beberapa menit setelahnya, dia menyesap es jeruknya. “Ekhemmm..” dia berdehem dan kalimat berikutnya, “Well, makasih ya. Salepnya dingin.” Tunggu dulu. Mendengar suara selembut itu, alih-alih aku mendengus dari tadi kek! Aku malah mengingat seseorang yang beberapa tahun belakangan berusaha aku lupakan. Ah, aku gagal move on lagi hanya karena suaranya yang mirip. “Ya iyalah dingin, itu salep buat kulit yang kebakar matahari.” Dia mengangguk.
Aku kembali fokus pada layar laptopku, beberapa anime lagi akan berhasil terdownload. Tak lama, terdengar suara seruputan ‘Slruuupp..’ nampaknya ia sudah mulai menikmati mie kuahnya. “Kamu suka baca buku horror begitu?” ujarnya tetiba. “Apa salahnya? Selama ceritanya menarik.” Timpalku. “Percaya gak percaya, aku pernah baca thread-thread si pengarang di forum pecinta horror kaskus. Cerita di buku ini juga. Cuman ya gak selengkap di bukunya…” kalimatku berhenti ketika menyadari mbak penjaga counter resepsionis tersenyum ke arahku. Melihatnya melangkah menuju kantin belakang, kusapa saja. “ke kantin mbak?”. “Iya nih, laper!” jawabnya sambil mengelus perutnya yang rata.
“Kamu akrab sama mbak resepsionis itu?” Tanya lelaki di hadapanku. “Iya, aku emang sering maen kesini. Lumayan banyak yang aku kenal.” Jawabku sekenanya.
“Aku gak pernah liat kamu. Aku juga lumayan sering maen disini.”
“Kamu mungkin seringnya di dalem, kalo aku biasanya maen di luar begini. Dan itu sebenernya tempat favorit aku.” Balasku panjang lebar sambil menunjuk kursi yang didudukinya.
“Oh.. maaf.” Sesalnya sambil menyantap kembali mie kuah berminyaknya itu.
“Aku gak pernah liat kamu. Aku juga lumayan sering maen disini.”
“Kamu mungkin seringnya di dalem, kalo aku biasanya maen di luar begini. Dan itu sebenernya tempat favorit aku.” Balasku panjang lebar sambil menunjuk kursi yang didudukinya.
“Oh.. maaf.” Sesalnya sambil menyantap kembali mie kuah berminyaknya itu.
“Eh, lanjutin dong cerita thread-thread itu!” ujarnya sesaat kemudian. Baiklah, nampaknya ada yang mulai tertarik dengan obrolan ini. Oke dengarkan baik-baik, bung!
“Jadi, buku ini tu based on true storynya si pengarang. Beberapa bulan yang lalu thread-threadnya di kaskus tentang pengalaman serunya hidup bareng hantu. Banyak banget viewersnya, tau.”
“Ya kalo udah tau ceritanya ngapain kamu beli bukunya?” nyinyirnya.
“Di kaskus gak semuanya dia posting, malah gak sampe selese. Sampe aku penasaran, saking penasarannya aku ngirim email minta cerita dilanjutin.”
“terus? Slruupp..” tanyanya sambil menyeruput mienya.
“Katanya lagi naik cetak. Dia malah nawarin mau PO bukunya apa enggak.”
“O, ya.. kamu gak pesen makan?” tawarnya, mungkin gak enak liat aku yang gak ngemil apapun. Aku cuman geleng-geleng. Fokusku sedang pada laptopku yang ternyata salah satu downloadanku failed.
“Jadi, buku ini tu based on true storynya si pengarang. Beberapa bulan yang lalu thread-threadnya di kaskus tentang pengalaman serunya hidup bareng hantu. Banyak banget viewersnya, tau.”
“Ya kalo udah tau ceritanya ngapain kamu beli bukunya?” nyinyirnya.
“Di kaskus gak semuanya dia posting, malah gak sampe selese. Sampe aku penasaran, saking penasarannya aku ngirim email minta cerita dilanjutin.”
“terus? Slruupp..” tanyanya sambil menyeruput mienya.
“Katanya lagi naik cetak. Dia malah nawarin mau PO bukunya apa enggak.”
“O, ya.. kamu gak pesen makan?” tawarnya, mungkin gak enak liat aku yang gak ngemil apapun. Aku cuman geleng-geleng. Fokusku sedang pada laptopku yang ternyata salah satu downloadanku failed.
“Emang ceritanya kayak gimana?”
Pertanyaan itu, membuatku heran, bukannya dia tadi cuek banget ya. Tidak pedulian gitu. Satelah bergumul dengan perasaan heran alam benakku, aku mengehela napas panjang sebelum akhirnya (meyakinkan diri) bercerita panjang lebar tentang Genta dan pengalaman horornya itu. Ceritaku beberapa kali ditimpalinya, “masa sih?” atau “oh ya!” dan “ngeri juga!”
Pertanyaan itu, membuatku heran, bukannya dia tadi cuek banget ya. Tidak pedulian gitu. Satelah bergumul dengan perasaan heran alam benakku, aku mengehela napas panjang sebelum akhirnya (meyakinkan diri) bercerita panjang lebar tentang Genta dan pengalaman horornya itu. Ceritaku beberapa kali ditimpalinya, “masa sih?” atau “oh ya!” dan “ngeri juga!”
Hingga mie dan es jeruknya tandas, lelaki ini menyimak ceritaku antusias. Entah mungkin pengalihan jenuh menunggu downloadannya dia atau gimana, aku gak peduli. Lantas Adzan Ashar terdengar di telinga, matahari juga sudah mulai meredup tak garang lagi. Seperti aku dan lelaki ini, obrolan kami mulai akrab. Oke aku setuju kalau dia adalah pendengar yang baik. Sedari awal aku cerita dia tetap konsentrasi, ini kelihatan dari sorot matanya yang penuh rasa ingin tahu. Aku tersenyum dalam hati, lelaki ini ternyata tidak seburuk seperti ekspektasiku sebelumnya.
“Mbak, boleh geser kesini cok rollnya, saya mau nyolokin juga.” Nah ini. Karena saking hangatnya obrolan kami, sampai aku tidak tersadar bahwa di sebelah dan di seberang meja kami mulai terisi banyak orang.
Tunggu.. kami? K.A.M.I?
Ya aku menganggap obrolan hangat ini perwujudan bahwa sekarang kami berteman. Setidaknya obrolan ini tidak menggunakan isyarat lagi. Gak kebayang bagaimana kerja kerasnya otakku menerjemahkan semua gesturnya. Kadang, apa yang ditampilkan oleh seseorang bukanlah pribadi sejatinya. Ya contohnya lelaki; teman baruku ini, pertama bertemu dia menyuguhkan sikap yang dingin sebagai penegasan bahwa dia sosok yang waspada, tidak biasa akrab dengan orang baru dikenalnya. Nyatanya, setelah serentetan perhatian-perhatian kecil tadi, dan setelah meyakinkan hatinya bahwa seseorang yang membantunya tadi orang yang baik, barulah dinding esnya itu meluluh. Gak cuman dia, kadang kita juga begitu. Terutama aku, kalau bertemu orang baru selalu menampilkan sikap tenang dan tidak banyak omong. Padahal pada kenyataannya aku orang yang ekspresif, cerewet, kalo marah suka meletup-letup, panikan dan banyak hal-hal absurd lainnya.
Kadang kita perlu jaga image. Supaya orang gak langsung ilang feeling ngeliat kelakuan asli kita yang mungkin gak bisa diterima oleh orang yang baru kita kenal itu. ya, kan namanya mau memberikan kesan pertama. Jaim dikit gak apa-apa lah! Tapi jangan lebay sampai ngerubah aslinya kamu. Inget, cuman buat kesan pertama aja, kalo udah akrab saling toyor-toyoran itu mah lain cerita. Hahaha
Setelah ceritaku selesai walau tak benar-benar tuntas dan setelah downloadanku selesai aku merapikan laptop dan tas ranselku. Sebelum aku benar-benar pergi dan menghilang dari pelupuk matanya, dia mengucapkan terimakasih kembali, “Sekali lagi makasih ya salepnya, sebenernya gak apa-apa sih gak pake itu juga.” ujarnya sambil menunjukkan deretan gigi bersihnya. Aku mengangguk mengiyakan. Lantas kemudian melangkahkan kakiku menjauh, meninggalkan dia di meja itu bersama obrolan hangat yang kini menguap. Entah nantinya dia akan mengenang perkenalan ini di bola memori otaknya. Atau memutuskan untuk tidak peduli dan melupakannya. Tapi aku? Justru aku memutuskan akan mengabadikannya.
Dan dalam perjalanan pulang aku baru sadar bahwa aku tidak sempat tau siapa namanya, kuliah dimana, jurusan apa. “Ki”, entah apakan nama sesungguhnya adalah eki, kiki, rizki, uki, oki, aki, atau koki entah apapun namanya yang sebenarnya aku tidak peduli, tidak penting bagiku untuk tau. Karena yang terpenting adalah aku bisa tau bahwa hari ini Tuhan telah mengajarkan bahwa tidak semua orang yang terlihat oleh netra adalah mereka yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar