Senin, 16 Januari 2017

Dare to Have Friend

Suara buku tersibak mendominasi ruangan. Bahkan, suara langkah kaki orang-orang di luar tak bisa kudengar. Pikiranku benar-benar terfokus pada dunia lain, dunia di dalam buku. Sampai bunyi lonceng di atas pintu membuyarkan pikiranku.
“Maaf, aku butuh roti tawa polos 1, roti isi selai stroberi 1, dan isi selai srikaya 1.” Seorang laki-laki yang usianya tampak lebih tua beberapa tahun dariku bicara tanpa menatapku, tetapi menatap kertas kecil yang kuduga adalah daftar belanja.
Aku tertegun sejenak, lalu menyadari bahwa tugasku sekarang adalah mengambilkan barang permintaannya. Secepat angin aku bergerak ke rak-rak kaca transparan tempat roti-roti toko kami dipajang. Setelah selesai aku membungkusnya dalam plastik dan menyerahkan padanya.

“Semuanya jadi 17 ribu,” ucapku dengan volume suara kecil. Sungguh aku tidak tahu kenapa seketika pita suaraku seolah terhambat sesuatu.
Aku mematung, mengharapkan orang di depanku menyerahkan uang pembayarannya. Namun sepertinya dia juga melamun, dengan masih menatap daftar belanjaannya.
“Tuan, semuanya…”
“Oh, Raphael! Selamat datang!” Nenek tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur. Aku dan orang “aneh” itu sama-sama kaget mendengar sapaan nenek.
Seketika di hadapanku, orang itu tampak akrab dengan nenekku. Ia seperti berbincang-bincang sedikit tentang keadaannya dan juga keluarganya. Tidak banyak yang kudengar sampai akhirnya nenek mengambil plastik roti di hadapanku dan menyerahkannya pada orang yang dipanggil “Raphael” itu. Raphael juga langsung menyerahkan uang pada nenek kemudian pergi dengan senyuman.
“Maggie, kau ini kenapa malah diam saja tadi?” Nenek mulai memarahiku. “Kalau kau belum tahu, itu Raphael, cucu keluarga Grassom tempat biasa kau berkunjung membeli wol,” Ucap nenek dengan lembut, sepertinya dia tidak marah. “Dia hanya lebih tua beberapa tahun darimu, mungkin kalian bisa berteman,” sambungnya sambil menepuk bahuku dan tersenyum.
Aku menundukkan kepalaku. “Tidak semudah itu menemukan orang yang mau dekat dan berteman denganku, nek,” jawabku.
Nenekku mengangkat kepalaku dengan tangannya yang lembut. Matanya yang masih bersinar menatapku, lalu berkata “Siapa bilang begitu? Nenek mengenalnya sejak kecil. Walau dia tidak besar di sini, nenek tahu di dalam hatinya ada kebaikan.” Pandangan nenek beralih ke jendela besar toko. “Nenek juga dulu dekat dengan kakeknya. Dia orang baik dan dari pandangan matanya nenek bisa mengetahuinya,” sambungnya.
Kepalaku kembali menunduk. “Menurut nenek begitu?” tanyaku untuk menghilangkan perasaan takut dan gugupku.
“Selalu ada pertama kali untuk segala hal, jangan takut,” Kata nenek sambil tersenyum. “Kau tak berencana untuk selalu sendirian bukan? Kau perlu seorang teman,” lanjut nenek sebelum ia beranjak pergi kembali ke dapur.
Aku merenungkan perkataan nenek. Memang tidak baik kalau aku terus mengurung diri di tempat ini saja. Perkataan nenek tidak pernah salah, aku yakin itu. Kurasa besok aku akan pergi menemuinya dan meminta maaf atas kejadian hari ini. Sesuatu yang aneh tidak selalu jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar