Senin, 16 Januari 2017

Krisis Identitas

Hari ini, dari mulai membuka mata pada pagi hari sampai tulisan ini dibuat pada pukul sebelas malam, perasaan gelisah bercampur dengan rasa sesal dalam hidup berkecamuk dalam diri ini. Paparan kronologisnya sudah dimulai sejak pagi hari.
Saat matahari terbit seolah semangat dan optimisme kembali terisi penuh. Kegiatan membersihkan rumah, mulai dari menyikat lantai kamar mandi, menguras bak mandi sampai membereskan kamar Ibu dan keponakan dilakukan dengan semangat yang menggebu. Beranjak sedikit siang setelah semua usai, aktifitas selanjutnya mandi, kegiatan ini juga masih kuisi dengan semangat yang cukup menggebu, karena rencana pendek yang sudah tergambar setelah aku mandi yaitu menyeduh dan menikmati kopi pagi ditemani sebungkus rok*k. Semangat menyeduh kopi dan menikmati setiap hisapan sebatang rok*k selalu muncul hanya di awal saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Ditengah dan akhir kedua kebiasaan yang selalu dilakukan bergantian tersebut, perenungan (kalau boleh disebut seperti itu) mulai mengganggu kenikmatan aktifitas itu. Seolah pikiran ini menuntut aku agar melakukan akttifitas tambahan lainya, entah apapun itu. Karena aku seorang jobseeker (kalau tidak mau dibilang pengangguran) maka dengan cepat kubuka situs lowongan kerja melalui handphone (HP).
Sebenarnya beberapa hari sebelumnya aku sudah mendapatkan kesempatan tes tulis di salah satu sekolah swasta berbasis agama Islam, yang surat lamaranya sudah aku masukan jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi aku sudah membiasakan diri untuk tidak menunggu atau berharap lebih terhadap sesuatu. Aku sudah sering dikecewakan dengan harapan yang berlebih. Dan seolah rasa pesimisme lebih dominan dalam diriku ketimbang rasa optimisme. Temanku sempat bertanya ketika aku mampir setelah melaksanakan tes tulis yang lokasinya tidak jauh dari tempat kos temanku. Dia bertanya “gimana de (panggilan akrabku) tesnya?” aku menjawab “ya begitulah, gak terlalu mengharap” kemudian temanku menjawab “loh kok pesimis gitu, berdoalah supaya tesnya bisa lolos” kujawab dengan senyum agak meledek “realistis aja”
Hari ini aku isi dengan penuh kelesuan setelah semua pekerjaan rumah aku kerjakan, seolah sudah semua hal aku telah lakukan. Kopi yang kubuat juga tidak aku habiskan dan masih tergeletak di depan meja monitor komputer. Dengan tubuh yang kurebahkan di kasur dan HP di genggaman aku mulai membuka situs lowongan kerja dan hasilnya seperti yang sudah aku duga. Sulit sekali mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangku yaitu Sosiologi. Halaman facebook sudah kubuka hampir sepuluh kali mungkin, karena saking jenuhnya tidak ada aktifitas yang aku bisa lakukan. Hari ini pun aku mandi cukup siang sekitar pukul 10 pagi. Setelah mandi aku pergi ke kamar dan menyalakan TV. Sebenarnya aku kurang begitu suka menonton acara TV, tetapi karena bingung mau melakukan aktifitas apa ya sudahlah. Acara TV hanya aku ganti-ganti saja tanpa fokus melihat satu acara TV, sepuluh menit kemudian aku matikan TV, karena rasa jenuh tetap tidak terhindarkan. Kuputuskan untuk ke luar kamar dan melihat aktifitas Ibu di ruang TV. Kulihat ibu sedang duduk tenang menyaksikan TV. Begitu beliau melihatku beliau berkata “Mau kerja bakti ta Ndik?” kujawab dengan muka masam “tidak bu”, kuambil botol minum dari lemari pendingin, kuminum tidak sampai habis dan kuletakan kembali ke dalam kulkas. Aku kembali ke dalam kamar, sebenarnya tadi selain aku ingin melihat Ibu, aku juga ingin melaksanakan Ibadah sholat Dzuhur karena saat itu sudah pukul 12 siang, tapi karena ibu menanyakan apakah aku ingin kerja bakti maka moodku langsung berubah dan urung melaksanakan niat tersebut. pertanyaan Ibu tersebut seolah ingin menyindir aku bahwa aku ini anak yang kurang bersosialisasi dengan tetangga. Hal tersebut memang benar dan aku akui. Aku terkadang merasa bahwa diriku ini orang yang aneh, karena memiliki kepribadian ganda. Disaat tertentu aku sangat introvert tapi disaat lain aku bisa menjadi ekstrovert. Keanehan inilah yang terkadang mengganggu hubunganku dengan lingkungan sekitar. Dan keanehan ini juga membuatku merasa malu menyandang gelar sebagai sarjana Sosiologi yang harusnya bisa sepenuhnya menjadi seorang yang ekstrovert.
Kembali dengan aktifitasku yang tadi kujelaskan bahwa aku memutuskan kembali ke kamar. Pada saat inilah pergumulanku dengan pikiran kembali mengusiku. Terngiang dalam pikiranku tentang apa yang sudah kualami dalam hidup. seolah aku belum memiliki identitas yang pasti melalui kemampuan pasti yang kumiliki. Aku sangat iri dengan teman-temanku yang sudah banyak mendapatkan pencapaian. Teman-temanku seolah memiliki bakat khusus di setiap dirinya. Ada yang berbakat bermain musik, olahraga, faham dengan politik sehingga terjun sebagai aktifis dan masih banyak lagi. Aku sering membandingkan teman-temanku itu dengan diriku sendiri. Aku merasa tidak memiliki bakat khusus, aku bertanya kepada diri sendiri “apa yang aku bisa?” musik tidak, olah raga aku hindari, pemahaman politik setengah-setengah, menulis juga masih berantakan (lihat saja tulisan ini). Aku merasa seolah aku tidak berguna. Bahkan pikiran untuk bunuh diri sering terbersit dalam benak. Untuk apa manusia seperti aku ini hidup, yang aktifitasnya hanya bisa menghabiskan uang orangtua untuk membeli sebungkus rok*k dua hari sekali, menghabiskan sumber daya air untuk kebutuhan mandi, buang air dan menyeduh kopi dan masih banyak lagi. Dan perasaan bahwa aku ini orang yang tidak berguna adalah aku tidak bisa memenuhi ekspektasi Ibuku. Lihat saja tingkahku yang tidak mau mengikuti kerja bakti sehingga Ibu menjadi malu dengan tetangga sekitar, lihat saja perilakuku yang terkadang sering menolak bahkan membentak ketika ibu menyuruh sesuatu, dan lihatlah aku yang sampai saat ini masih belum bisa memberikan hasil keringatku karena sampai sekarang aku masih belum mendapat pekerjaan.
Semua permasalahan tentang rasa tidak bergunanya diriku ini, seolah pertanda bahwa aku memang sedang mengalami krisis identitas. Mau jadi apakah aku ini kelak, mengingat bakat khusus pun aku masih belum bisa temukan dalam diriku? Inilah pertanyaan besar yang selalu menggelayut dalam pikiran dan merusak suasana tenang ditengah aku menyeruput kopi dan menghisap rok*k. Apakah aku memang harus bunuh diri? Agar orang seperti aku ini tidak membikin dunia semakin sumpek dan sesak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar