Senin, 16 Januari 2017

Bulan Gundah

“Mengapa aku harus memilih, sedang semuanya bukanlah pilihan bagiku.”
“Tapi kamu harus cepat-cepat menentukannya.”
“Aku tidak bisa.”
“Ini bukanlah tentang bisa atau tidak bisa, tapi ini tentang mau atau tidak mau.”
“Bukankah kau selalu mengatakan bahwa sesuatu yang dipaksakan tidak akan menghasilkan apa-apa.”
“Tapi ini baik bagimu.”
“Aku mengerti apa yang baik dan buruk bagi diriku sendiri.”
Temaram senja menyelimuti langit Surabaya kala perempuan duduk di dekat jendela dengan telepon genggam di telinganya.
“Kau seperti ayah, begitu keras kepala.”
“Apa salah bila aku memiliki pilihan sendiri.”
“Tentu akan lebih mudah bila kau memilih.”
“Aku takkan memilih, karena aku sudah memiliki pilihan dalam hidupku.”
“Aku tidak ingin mendengar jawabanmu sekarang, nanti malam kutelepon lagi. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
Hening setelah itu. Hanya ada jingganya langit dan burung-burung yang beterbangan di dekat jendela kamar yang hendak pulang ke sarang, sedang Bulan masih memandangi telepon genggamnya. Bulan gundah dengan pilihan yang diberikan kakaknya. Pilihan sulit yang mesti dipilih, pilihan yang seperti menjelma menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan, mengular, tak berujung, dan menjadi benang kusut di kepalanya.
Di kamar, suasana sangat beku dan hanya ada suara jarum jam yang menari di angka delapan yang memenuhi ruangan itu. Lalu dering telepon genggam membuyarkan lamunan Bulan.
“Bagaimana, apakah kau sudah memutuskan. Jadi, mana yang akan kau pilih?”
“Aku sudah memilih. Pilihan yang sudah kuyakini kebenarannya.”
“Jadi?”
“Aku tetap ingin menjadi pengarang. Pilihanku tetap sastra, aku ingin mendalaminya.”
“Kau sudah gila ya? Apa salahnya dengan farmasi atau ekonomi. Kau akan sukses seperti mbak atau mas Arya kelak.”
“Aku tidak bisa disamakan dengan mas Arya atau mbak Windy. Aku ya Bulan bukan kalian berdua.”
“Kau tahu seorang pengarang tak harus lahir dari jurusan sastra. Kau lihat Asma Nadia, Tere liye, atau Raditya Dika. Mereka pengarang dan penulis yang hebat dan terkenal. Apakah mereka dari jurusan sastra? Tidak!”
“Aku bukanlah anak kecil, aku tahu itu.”
“Lalu mengapa kau begitu keras kepala?”
“Ini tentang passion.”
“Ini demi kebaikanmu, demi masa depanmu.”
“Ini jalan hidupku, jadi aku lebih tahu mana yang baik dan jalan mana yang mesti kutempuh. Dan bukankah masa depan tak ditentukan oleh jurusan mana yang kita pilih.”
“Baiklah, kau memang benar-benar mirip ayah, bertekad batu. Takkan mungkin bisa aku pecahkan.”
Hening kembali menyeruak. Hanya ada bunyi jarum jam yang menari di telinga Bulan dan ribuan kegundahan yang berterbangan di langit-langit kamarnya mirip burung tadi sore. Kamar bulan kembali beku, sebeku hidup bulan yang sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar