Pada sore hari terdengar langkah kaki yang menuju ke kamarku, pelan-pelan langkah kaki itu semakin dekat. Saat aku membuka mata, Ibu sudah ada di depan mataku. Aku menatap Ibu tanpa berkedip, kami saling diam, akhirnya Ibu memulai pembicaraan.
“Anakku, apakah keputusanmu sudah kau pikirkan terlebih dahulu?” tanya Ibu, sambil mengelus lembut rambutku.
“Ibu, aku sudah memikirkan sebelum aku mengambil keputusan ini,” Ibu hanya terdiam dan tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.
Dengan rasa putus asa Ibu pergi meninggalkan kamarku, aku takut mengecewakan hati Ibu, karena Ibu tidak ingin aku jauh dari mereka. Namun dengan tekad yang bulat, aku bisa meyakinkan Ibu dan Ayah.
Sore itu pun, aku berkemas semua barang-barang yang diperlukan. Seluruh tubuhku gemetar, jantung berdetak tidak seperti biasanya, langkah-langkah kaki gemulai menuju pintu keluar. Di luar banyak keluarga yang telah kumpul dari tadi siang, di sampingku berdiri Tante Ima, Ia saudara dari Ibuku
“Sayang, kamu jaga diri di sana baik-baik ya!” tante Ima berpesan kepadaku, sambil menitiskan air mata. Akhirnya aku berangkat di temani Ayah, Ibu, dan Saudaraku.
Di malam sunyi yang begitu dingin, aku menatap raut wajah kedua orangtuaku yang sedang tertidur lelap di peraduan malam yang dihiasi bintang-bintang, di saat tatapanku tertuju di raut wajah yang terlihat lelah dan letih. Aku terkejut seketika Ibu membuka kedua matanya.
“Anakku, apa yang sedang engkau pikirkan sehingga tidak bisa membuat engkau tidur di malam ini?” Ibu bertanya dengan suara lembut sambil membangunkan tubuhnya.
“Tidak ibu, tidak ada yang aku pikirkan saat ini,” dengan suara lembut aku berbohong kepada ibu.
“Anakku kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Ibumu ini, katakanlah sayang apa yang sedang kau pikirkan?” dengan nada yang membujuk Ibu bertanya lagi kepadaku.
Aku terdiam dan terpaku karena menatap wajah Ibu yang cemas akan diriku, waktu seakan berhenti sejenak, bibirku kaku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menangis di pelukan ibu, tanpa ada pertanyaan lagi, mungkin ibu bisa merasakan apa yang aku rasa. Ibu membelai rambutku dengan penuh kasih sayang hingga aku tertidur lelap dan ibu akhirnya tidur kembali.
“Sayang, bangunlah” suara lembut Ibu merubah kegelapan menuju cahaya pagi.
Aku bangun dan mulai membersihkan tubuhku kemudian mengambil air wudu, setelah beberapa lama akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Ibu dan adikku menemaniku untuk pergi ke kos yang telah di pesan sebelumnya, sekitar 30 menit saja Ibu dan adikku menemaniku di kos tersebut, kemudian mereka harus balik ke kampung halaman lagi. Setelah aku membersihkan dan menaruh pakaian yang aku bawa dari rumah dan diletakkan di tempat yang sudah disiapkan. Setelah selesai aku merasa lelah dan aku pun tertidur di atas lantai yang dingin, aku terbangun, aku bertanya apakah ini mimpi, aku bangun di tempat tidak seperti biasanya, dengan seketika aku menangis karena teringat dengan Ayah dan Ibuku.
Hari itulah pertama kalinya aku jauh dari orangtuaku, aku memulai semuanya dari nol, setelah beberapa hari akhirnya aku memulai perkuliahan di Universitas Lambung Mangkurat. Dengan langkah kaki yang tidak lagi gemulai, tekad yang besar mengalahkan rasa takut, kulihat di sekelilingku tidak ada satu orang pun yang aku kenal nama dan wajahnya. Aku bertanya-tanya, bisakah aku menyesuaikan diri dengan orang-orang asing yang tidak pernah kutemui sebelumnya? Aku berkeliling menyusuri setiap sudut kampus itu, rasa was-was dan pikiran yang negatif yang berputar-putar dalam kepalaku.
“Hai!” terdengar suara perempuan yang lantang sambil menepuk pundakku.
Tubuhku gemetar, darah terasa berhenti mengalir, aku kaget dan bertanya-tanya siapakah yang telah memanggilku, sedangkan aku belum mengenal satu orang pun di kampus ini. Kemudian aku membalikkan badan dan menatap wajah perempuan tersebut, benar saja bahwa aku tidak mengenal perempuan itu.
“Hai, apakah kamu tahu dimana kantin yang berada di kampus ini?”
Dia bertanya seakan-akan aku mengetahui apa saja yang ada di kampus ini dan dimana saja letaknya,
aku menjawab pertanyaannya, “Maaf, aku juga tidak tahu dimana letak kantin di kampus ini, karena aku baru pertama kalinya melihat dan memasuki lingkungan kampus ini.”
“Oh begitu ya, aku kira kamu sudah tahu kampus ini,” sambil tersenyum dia menatapku.
“Oh ya, siapa nama kamu?” sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Mutiara, panggil saja Tiara” aku menjawab pertanyaannya sambil menyambut tangannya dan memberikan senyum manis yang aku punya.
“Nama kamu sendiri siapa?” aku bertanya balik.
“Namaku Nadira, kamu bisa memanggilku Dira!” Dia menjawab pertanyaanku sambil membalas senyum yang aku lontarkan kepadanya. Kami melepas tangan dari salam perkenalan tersebut,
“Bolehkah aku menyimpan nomor ponsel kamu! Mugkin saja nanti ada hal yang bisa aku tanyakan” aku berusaha untuk lebih dekat dengan Dira.
“Tentu saja boleh,” sambil mengambil ponsel dalam tas berwarna hitam miliknya. kemudian dia menyebutkan nomor yang bisa aku hubungi, dan aku pun menyimpannya. “Oh ya, kamu kuliah memilih program studi apa?” tanya Dira kepadaku.
“Bahasa Indonesia,” aku menyebutkan dengan malu-malu.
“Apa, Bahasa Indonesia, berarti kita satu prodi” wajahnya terlihat bahagia.
“Benarkah” yang tadinya aku malu-malu sekarang aku menjadi semangat setelah mendengar bahwa Dira juga prodi Bahasa Indonesia.
Setelah kami berbincang-bincang, aku merasa nyaman berteman dengan Dira.
“Tiara, bagaimana kalau nanti kita ke kampus bareng.”
“Boleh” aku sambil mengangguk mengiyakan.
“Dira, aku mau pulang ke kos dulu!”
“Oh, iya Tiara hati-hati di jalan ya!”
“Iya” sambil melambaikan tanganku.
Di bawah terik matahari aku pulang ke kos dengan jalan kaki, dengan hati yang bahagia karena akhirnya aku memiliki teman di kota yang sebesar ini. Aku berjalan melewati jalan raya yang padat dengan motor dan mobil, polusi udara yang tidak sesejuk di kampung kami, motor dan mobil yang berjalan dengan laju membuat kepalaku pusing melihatnya. Sesampai aku di kos, aku menangis seperti biasanya, karena aku merindukan Ibu dan Ayahku. Namun setelah beberapa hari berlalu aku sudah terbiasa jauh dari orangtua, setiap hari aku harus ke kampus untuk kuliah dan bertemu dosen yang memiliki beragam karakter, selain Dira aku masih banyak lagi memiliki teman, hal inilah yang membuat aku merasa tidak sendirian lagi di Kota Banjarmasin ini. Pada minggu ke empat kuliah, hari itu aku kuliah pagi di jemput salah oleh satu temanku.
“Tiara” seperti ada yang memanggil namaku.
Aku ke balkon kos untuk melihat apakah benar ada yang memanggilku, ternyata Silvia sudah di depan pagar kos menjemputku untuk pergi ke kampus bareng.
“Hai Silvia, tunggu sebentar ya!, aku menutup pintu dulu,” sambil melambaikan tanganku dan melempar senyum kepada Silvia.
“Iya, aku tunggu.”
kemudian kami berangkat ke kampus sesampainya di kampus ternyata tugas yang aku kerjakan hari Minggu kemarin terlupakan begitu saja, tubuhku gemetar karena dosen mata kuliah tersebut sudah duduk manis di kursi dengan badan yang tegap. Aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu ruangan tersebut, tuk tuk tuk, tanganku yang dingin mengetuk pintu ruangan itu,
“Assalamualaikum” aku dan Silvia mengucapkan salam dengan suara yang lantang meskipun tubuh gemetar.
“Waalaikumsalam,” sahut orang-orang yang berada dalam ruangan tersebut.
“Silahkan masuk” dosen yang bernama Hadi Nogrohu menyuruhku memasuki ruangan.
Aku dan Silvia masuk dengan membungkukkan tubuh saat melintas di depan Pak Hadi. Bapak Hadi menjelaskan sedikit materi terkait dengan mata kuliah, aku yang duduk di barisan kedua tidak terlalu memperhatikan apa yang di jelaskan dosen yang berada di depan, karena pikiranku selalu tertuju pada tugas yang lupa aku bawa. Di akhir pertemuan Bapak Hadi meminta tugas yang telah diberikannya untuk di kumpulkan di atas mejanya, semua temanku bergegas mengumpulkan tugas mereka masing-masing, tubuhku semakin gemetar, apa yang harus aku lakukan saat ini?
“Tiara, mana lembar tugasmu?” tanya temanku yang berada di samping,
Dengan suara terbata-bata karena gugup aku menjawab, “Aku lupa membawanya!”
“Apa, kamu lupa?” dengan mata yang melotot Dira menatapku,
“Iya, aku lupa, sekarang apa yang harus aku lakukan?” aku meminta pendapat Dira.
“Kamu katakan saja yang sebenarnya kepada Pak Hadi” usul Dira
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Pak Hadi bahwa tugasku ketinggalan, perlahan-lahan aku mendekati Pak Hadi yang sudah bersiap-siap untuk keluar dari ruangan itu, aku memberanikan diri untuk berbicara kepada Pak Hadi.
“Pak!”
“Iya, ada apa?” Bapak Hadi bertanya dengan suara lembut, dengan kumisnya yang rapi bagaikan ulat bulu berwarna hitam.
“Begini Pak, saya sudah mengerjakan tugas yang Bapak berikan. Tapi, tugas tersebut ketinggalan Pak!” tanganku dingin bagaikan berada dalam lemari pendingin.
“Oh iya, tidak apa, nanti kamu taruh saja di atas meja Bapak di ruang dosen, ya.”
Mendengar pernyataan Bapak Hadi, tubuhku bagai melayang-layang, suhu tubuhku kembali normal, senyum di bibirku mengembang bagai bunga mekar di pagi hari.
Di hari minggu yang cerah, senyum mengembang di setiap bibir Mahasiswa karena hari libur tanpa kuliah. Tiba-tiba saja aku merasakan rindu yang menggebu-gebu kepada kedua orangtuaku, karena sudah beberapa bulan aku tidak bertemu dengan mereka, untuk mengobati rasa rindu aku menelepon Ibuku, setelah beberapa kali tidak tersambung, akhirnya tersambung juga.
“Assalamualaikum,” Aku mengucapkan salam kepada Ibu.
“Waalaikumsalam,” Ibu menyahut salamku.
“Halo Ibu, apa kabar?”
“Alhamdulillah, kabar Ibu baik.”
“Bagaimana dengan keadaan Ayah dan keluarga lainnya Ibu?”
“Semuanya baik-baik saja, bagaimana dengan keadaanmu, dan kuliahmu sayang?” Suara Ibu terdengar lembut dan penuh kasih sayang.
aku menjawab pertanyaan Ibu dengan haru, “Aku baik-baik saja dan kuliahku lancar Ibu.”
Setelah beberapa jam aku dan Ibu berbincang-bincang lewat telepon, aku mengakhiri telepon tersebut, setelah itu rasa rindu sedikit terobati walaupun tidak terobati sepenuhnya. Kemudian aku beraktivatas seperti biasanya.
Satu semester telah berlalu, dengan berbagai tugas telah dilalui susah senang dijalani bersama-sama dengan sahabat, atas restu yang dititipkan Ibu dan Ayahku semuanya berjalan dengan lancar. Karena aku yakin segala sesuatu yang di kerjakan akan berhasil dan berkah atas restu dari kedua orangtua. Semua yang telah dilalui tidak akan sia-sia, karena tidak ada hasil yang mengkhianati suatu usaha.
“Anakku, apakah keputusanmu sudah kau pikirkan terlebih dahulu?” tanya Ibu, sambil mengelus lembut rambutku.
“Ibu, aku sudah memikirkan sebelum aku mengambil keputusan ini,” Ibu hanya terdiam dan tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.
Dengan rasa putus asa Ibu pergi meninggalkan kamarku, aku takut mengecewakan hati Ibu, karena Ibu tidak ingin aku jauh dari mereka. Namun dengan tekad yang bulat, aku bisa meyakinkan Ibu dan Ayah.
“Sayang, kamu jaga diri di sana baik-baik ya!” tante Ima berpesan kepadaku, sambil menitiskan air mata. Akhirnya aku berangkat di temani Ayah, Ibu, dan Saudaraku.
“Anakku, apa yang sedang engkau pikirkan sehingga tidak bisa membuat engkau tidur di malam ini?” Ibu bertanya dengan suara lembut sambil membangunkan tubuhnya.
“Tidak ibu, tidak ada yang aku pikirkan saat ini,” dengan suara lembut aku berbohong kepada ibu.
“Anakku kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Ibumu ini, katakanlah sayang apa yang sedang kau pikirkan?” dengan nada yang membujuk Ibu bertanya lagi kepadaku.
Aku terdiam dan terpaku karena menatap wajah Ibu yang cemas akan diriku, waktu seakan berhenti sejenak, bibirku kaku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menangis di pelukan ibu, tanpa ada pertanyaan lagi, mungkin ibu bisa merasakan apa yang aku rasa. Ibu membelai rambutku dengan penuh kasih sayang hingga aku tertidur lelap dan ibu akhirnya tidur kembali.
“Sayang, bangunlah” suara lembut Ibu merubah kegelapan menuju cahaya pagi.
“Hai!” terdengar suara perempuan yang lantang sambil menepuk pundakku.
Tubuhku gemetar, darah terasa berhenti mengalir, aku kaget dan bertanya-tanya siapakah yang telah memanggilku, sedangkan aku belum mengenal satu orang pun di kampus ini. Kemudian aku membalikkan badan dan menatap wajah perempuan tersebut, benar saja bahwa aku tidak mengenal perempuan itu.
“Hai, apakah kamu tahu dimana kantin yang berada di kampus ini?”
Dia bertanya seakan-akan aku mengetahui apa saja yang ada di kampus ini dan dimana saja letaknya,
aku menjawab pertanyaannya, “Maaf, aku juga tidak tahu dimana letak kantin di kampus ini, karena aku baru pertama kalinya melihat dan memasuki lingkungan kampus ini.”
“Oh begitu ya, aku kira kamu sudah tahu kampus ini,” sambil tersenyum dia menatapku.
“Oh ya, siapa nama kamu?” sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Mutiara, panggil saja Tiara” aku menjawab pertanyaannya sambil menyambut tangannya dan memberikan senyum manis yang aku punya.
“Nama kamu sendiri siapa?” aku bertanya balik.
“Namaku Nadira, kamu bisa memanggilku Dira!” Dia menjawab pertanyaanku sambil membalas senyum yang aku lontarkan kepadanya. Kami melepas tangan dari salam perkenalan tersebut,
“Bolehkah aku menyimpan nomor ponsel kamu! Mugkin saja nanti ada hal yang bisa aku tanyakan” aku berusaha untuk lebih dekat dengan Dira.
“Tentu saja boleh,” sambil mengambil ponsel dalam tas berwarna hitam miliknya. kemudian dia menyebutkan nomor yang bisa aku hubungi, dan aku pun menyimpannya. “Oh ya, kamu kuliah memilih program studi apa?” tanya Dira kepadaku.
“Bahasa Indonesia,” aku menyebutkan dengan malu-malu.
“Apa, Bahasa Indonesia, berarti kita satu prodi” wajahnya terlihat bahagia.
“Benarkah” yang tadinya aku malu-malu sekarang aku menjadi semangat setelah mendengar bahwa Dira juga prodi Bahasa Indonesia.
Setelah kami berbincang-bincang, aku merasa nyaman berteman dengan Dira.
“Tiara, bagaimana kalau nanti kita ke kampus bareng.”
“Boleh” aku sambil mengangguk mengiyakan.
“Dira, aku mau pulang ke kos dulu!”
“Oh, iya Tiara hati-hati di jalan ya!”
“Iya” sambil melambaikan tanganku.
“Tiara” seperti ada yang memanggil namaku.
Aku ke balkon kos untuk melihat apakah benar ada yang memanggilku, ternyata Silvia sudah di depan pagar kos menjemputku untuk pergi ke kampus bareng.
“Hai Silvia, tunggu sebentar ya!, aku menutup pintu dulu,” sambil melambaikan tanganku dan melempar senyum kepada Silvia.
“Iya, aku tunggu.”
“Assalamualaikum” aku dan Silvia mengucapkan salam dengan suara yang lantang meskipun tubuh gemetar.
“Waalaikumsalam,” sahut orang-orang yang berada dalam ruangan tersebut.
“Silahkan masuk” dosen yang bernama Hadi Nogrohu menyuruhku memasuki ruangan.
Aku dan Silvia masuk dengan membungkukkan tubuh saat melintas di depan Pak Hadi. Bapak Hadi menjelaskan sedikit materi terkait dengan mata kuliah, aku yang duduk di barisan kedua tidak terlalu memperhatikan apa yang di jelaskan dosen yang berada di depan, karena pikiranku selalu tertuju pada tugas yang lupa aku bawa. Di akhir pertemuan Bapak Hadi meminta tugas yang telah diberikannya untuk di kumpulkan di atas mejanya, semua temanku bergegas mengumpulkan tugas mereka masing-masing, tubuhku semakin gemetar, apa yang harus aku lakukan saat ini?
“Tiara, mana lembar tugasmu?” tanya temanku yang berada di samping,
Dengan suara terbata-bata karena gugup aku menjawab, “Aku lupa membawanya!”
“Apa, kamu lupa?” dengan mata yang melotot Dira menatapku,
“Iya, aku lupa, sekarang apa yang harus aku lakukan?” aku meminta pendapat Dira.
“Kamu katakan saja yang sebenarnya kepada Pak Hadi” usul Dira
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Pak Hadi bahwa tugasku ketinggalan, perlahan-lahan aku mendekati Pak Hadi yang sudah bersiap-siap untuk keluar dari ruangan itu, aku memberanikan diri untuk berbicara kepada Pak Hadi.
“Pak!”
“Iya, ada apa?” Bapak Hadi bertanya dengan suara lembut, dengan kumisnya yang rapi bagaikan ulat bulu berwarna hitam.
“Begini Pak, saya sudah mengerjakan tugas yang Bapak berikan. Tapi, tugas tersebut ketinggalan Pak!” tanganku dingin bagaikan berada dalam lemari pendingin.
“Oh iya, tidak apa, nanti kamu taruh saja di atas meja Bapak di ruang dosen, ya.”
Mendengar pernyataan Bapak Hadi, tubuhku bagai melayang-layang, suhu tubuhku kembali normal, senyum di bibirku mengembang bagai bunga mekar di pagi hari.
“Waalaikumsalam,” Ibu menyahut salamku.
“Halo Ibu, apa kabar?”
“Alhamdulillah, kabar Ibu baik.”
“Bagaimana dengan keadaan Ayah dan keluarga lainnya Ibu?”
“Semuanya baik-baik saja, bagaimana dengan keadaanmu, dan kuliahmu sayang?” Suara Ibu terdengar lembut dan penuh kasih sayang.
aku menjawab pertanyaan Ibu dengan haru, “Aku baik-baik saja dan kuliahku lancar Ibu.”
Setelah beberapa jam aku dan Ibu berbincang-bincang lewat telepon, aku mengakhiri telepon tersebut, setelah itu rasa rindu sedikit terobati walaupun tidak terobati sepenuhnya. Kemudian aku beraktivatas seperti biasanya.
Satu semester telah berlalu, dengan berbagai tugas telah dilalui susah senang dijalani bersama-sama dengan sahabat, atas restu yang dititipkan Ibu dan Ayahku semuanya berjalan dengan lancar. Karena aku yakin segala sesuatu yang di kerjakan akan berhasil dan berkah atas restu dari kedua orangtua. Semua yang telah dilalui tidak akan sia-sia, karena tidak ada hasil yang mengkhianati suatu usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar