Senin, 16 Januari 2017

Sepotong Siang

“Suara berat khas lelaki menyadarkan aku bahwa aku masih berada di indomaret dan tidak sedang tertidur di kasur empukku.”
Suara tuts keyboard menggema dari komputer di hadapanku. Aku sekarang bukan sedang di hadapan laptopku seperti biasanya, melainkan di depan meja kasir indomaret dan sedang membayar pulsa elektronik. Setelah menyerahkan beberapa lembar uang kertas, aku lantas beranjak ke lemari pendingin berniat mengambil air kelapa kemasan langsung minum yang menjadi favoritku. Setelah melewati deretan rak-rak berisi alat perlengkapan mandi, snack dan bumbu-bumbu dapur, aku kini berdiri di hadapan lemari segi empat berembun yang menjulang, tiba-tiba… “Bruuk..” aku terjatuh bersamaan dengan anak kecil dalam dekapanku. Kalau saja aku dalam kondisi siap mungkin hal tersebut bisa aku hindari, tapi sayangnya anak kecil berbadan tambun itu justru membuatku hilang keseimbangan.
Sesaat setelahnya aku membenarkan posisi dudukku dan memastikan bahwa anak kecil tadi tidak apa-apa. “Adek gak apa-apa?” tanyaku sambil membantunya berdiri. Dan ketika aku hendak berdiri, seseorang menepuk lengan kananku. Disaat yang bersamaan aroma parfum Axe Black yang pernah mengingatkanku akan seseorang itu, tiba-tiba saja menguar dan memenuhi indera penciumanku. Ku dongakkan pandangaku. “Mbak gak apa–apa?”
Apa kalian tau siapa yang berada di hadapan wajahku saat ini? Yang pastinya bukan pegawai indomaret karena mengingat suasananya sedang sepi dan hanya ada sorang penjaga kasir di depan.
Dengan mata membulat, aku menatap lekat sosok ganteng yang berdiri di hadapanku kini. Tuhan, jujur ini sih bukan manusia lagi tapi Dewa. D.E.W.A. dan dia dengan raut khawatirnya mengguncang sekali lagi lenganku. “Mbak gak apa-apa?” suara berat khas lelaki menyadarkan aku bahwa aku masih berada di indomaret dan tidak sedang tertidur di kasur empukku. “Eh.. iya, gak apa-apa.” jawabku gelagapan.
“Maafin ponakan saya mbak, dia emang anaknya aktif banget. Ayo Ken minta maaf sama mbaknya.” Ujarnya menoel lengan lelaki kecil yang ternyata bernama Ken itu.
“Oh, gak apa-apa mas, lantainya aja mungkin yang agak licin.” Oh.. Tuhan, kenapa tiba-tiba saja aku ngomongin lantai?
Mimpi apa aku semalam.
Setelah tiga hari nangis darah karena pacar (baca: Laptop) ngambek dan harus dibawa ke tukang service, Tuhan tiba-tiba saja menghadapkanku pada situasi yang diluar ekspektasiku. Jujur, selama kehidupanku di dunia fana ini aku belum pernah bertemu dengan yang begini. Mungkin aku akan menyebut lelaki tertampan yang pernah ku temui dalam sejarah hembusan napasku adalah Papa, tapi yang ini.. lelaki berkemeja slim warna hitam dengan celana bahan abu- abu, tinggi menjulang lengkap dengan gingsul dan tentunya senyuman yang menyihir. Aku tidak mengakuinya tampan, karena definisi tampan untuk lelaki satu ini mungkin melebihi dari yang ada di kamus besar bahasa Indonesia.
Kedengarannya aku seperti perempuan aneh yang gampang jatuh hati. Tapi kenyatannya tidaklah demikian. Justru, banyak yang mengakui bahwa aku tak tersentuh, bukan karena aku makhluk halus melainkan aku yang terlalu tertutup untuk urusan asmara. Asmara adalah hal ter-bulsh*t yang pernah aku ketahui sepanjang sejarah kehidupan anak adam.
Bagiku saat ini Tuhan tengah menantangku, seberapa bertahan aku dengan keyakinan bahwa Asmara, dan Kasmaran adalah hal yang paling tidak penting dan memuakkan di dunia ini. Cinta tidaklah selalu menjadi alasan utama mengapa orang harus hidup bersama, pernikahan misalnya. Cinta juga bukan alibi untuk orangtua menyayangi anaknya. Bukan melulu cinta, tapi bentuk pertanggung jawaban kepada Tuhan. Tapi, nyatanya pertahananku runtuh. Jika saja yang kutemui adalah mas–mas indomaret yang sudah kuhapal rupa dan wajahnya, ceritanya tidak akan pernah seperti ini. Tapi saat ini, justru yang Tuhan kerahkan adalah Manusia setengah Dewa-Nya yang dulunya kufikir hanya bualan dan dengingan kentut semata.
“Mbak, ini minumannya sekalian ya!” ujarnya kepada mbak kasir. Sontak aku menoleh, “Gak usah mas, biar saya bayar sendiri.”
Wajahnya merengut tanda dia tidak menerima penolakan. itu antara dia yang so sweet atau dia lelaki pemaksa? Tapi terlepas dari itu semua aku hanya bisa melemparkan senyum terima kode, eh.. maksudku terima kasih. Dan di parkiran indomaret ini, kami berpisah.
“Makasih ya mas!” ucapku sekali lagi dan dibalas anggukan. Lambaian tanganya adalah pertanda bahwa episode spesial ini akan berakhir. Setelah membayar parkir, pelan-pelan mobilnya beranjak dari parkiran. Sesaat setelah deru Range Rover Sport hitam itu berlalu dari parkiran indomaret, aku menyadari bahwa Manusia Setengah Dewa itu benar-benar nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar